• Jelajahi

    Copyright © Teras Indonesia News
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    GNTV INDONESIA

    Iklan

    Logo

    Hutan Ketapang Menuju Titik Nol: Negara Harus Hadir, Perusahaan Harus Diberhentikan, dan Rakyat Harus Dilindungi

    Teras Indonesia News
    Dibaca: ...
    Last Updated 2025-11-23T17:36:25Z


    TerasIndonesiaNews.com - Ketapang, 24 November 2025

    Ketapang hari ini berada dalam kondisi darurat ekologis. Berbagai temuan lapangan yang dihimpun DPD Rumah Hukum Indonesia (RHI) Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa alih fungsi kawasan hutan berlangsung secara masif, masuk ke zona perlindungan mutlak, dan terus dibiarkan tanpa pengawasan efektif. Ketua DPD RHI Ketapang, Ahmad Upin Ramadan, CPLA, menegaskan bahwa keadaan ini bukan sekadar kesalahan teknis atau kekeliruan membaca peta—melainkan hasil dari tata kelola yang runtuh.


    Ketika PIPPIB, RTRW, dan peta tematik saling bertentangan, kerugian tidak pernah jatuh kepada perusahaan. Korban utamanya adalah masyarakat lokal, lingkungan hidup, dan masa depan Ketapang. Hal ini disampaikan secara tegas oleh Ahmad Upin Ramadan, CPLA, yang menilai bahwa kerusakan sistemik ini tidak boleh lagi dibungkam.


    Pemerintah Tidak Boleh Lagi Menjadi Penonton

    Menurut Ahmad Upin Ramadan, CPLA, persoalan terbesar bukan pada perusahaan yang melanggar—karena itu telah terjadi bertahun-tahun—tetapi pada pemerintah yang tidak lagi bertindak sebagai pengatur. Ketika negara memilih diam, perusahaan merasa aman memasuki kawasan lindung, izin-izin menjadi tumpang tindih, dan perluasan perkebunan terjadi di wilayah yang jelas-jelas bertentangan dengan RTRW.


    Bagaimana mungkin perusahaan berani masuk kawasan terlarang jika pemerintah tegas?
    Bagaimana mungkin verifikasi izin gagal mendeteksi pelanggaran dasar?
    Bagaimana mungkin kawasan lindung berubah seolah tanpa batas?


    Jawabannya satu: pembiaran.

    Dan seperti ditegaskan Ahmad Upin Ramadan, CPLA, pembiaran adalah bentuk persekongkolan diam.


    DPD RHI Ketapang menilai bahwa pemerintah daerah, instansi vertikal, dan seluruh pemegang kewenangan harus bertanggung jawab penuh, bukan dengan rapat-rapat formal, tetapi dengan tindakan nyata: penertiban lapangan, penghentian operasional, dan pencabutan izin yang melanggar hukum.


    Perusahaan Tidak Bisa Lagi Berlindung di Balik “Izin”

    Ahmad Upin Ramadan, CPLA, menegaskan bahwa alasan perusahaan “kami hanya mengikuti izin” tidak bisa lagi diterima. Mengapa?
    Banyak izin tumpang tindih,
    Banyak izin terbit tanpa pengecekan lapangan,
    Banyak izin tidak sinkron dengan RTRW,
    Dan banyak izin bertentangan dengan status kawasan hutan yang masih berlaku.


    Perusahaan tahu mereka masuk kawasan lindung.
    Perusahaan tahu ada masyarakat adat di dalamnya.
    Perusahaan tahu kawasan itu punya fungsi ekologis vital.
    Namun ekspansi tetap dilakukan, demi keuntungan jangka pendek.


    Maka DPD RHI Ketapang menegaskan sikap:
    Perusahaan yang merambah kawasan lindung harus dihentikan, bukan dinegosiasi.


    Masyarakat Lokal dan Adat: Korban Terbesar

    Di balik setiap hektare hutan yang hilang, terdapat petani yang kehilangan tanah, komunitas adat yang kehilangan identitas, anak-anak yang kehilangan masa depan lingkungan, dan warga desa yang menghadapi ancaman kriminalisasi.


    Menurut Ahmad Upin Ramadan, CPLA, konflik agraria di Ketapang bukan konflik antarmasyarakat, tetapi konflik struktural: rakyat versus korporasi, dengan pemerintah sering berdiri di tengah tanpa keberpihakan jelas.


    Masyarakat adat bukan hambatan pembangunan. Mereka adalah penjaga hutan terbaik Ketapang.


    Hutan Adalah Penyangga Hidup, Bukan Sekadar Pepohonan
    Kerusakan hutan tampak dalam:
    Air sungai yang kian keruh,
    Banjir yang semakin sering,
    Suhu ekstrem yang meningkat,
    Hilangnya habitat satwa,
    Rusaknya struktur tanah dan kualitas hidup.


    Ahmad Upin Ramadan, CPLA menegaskan bahwa Hutan Ketapang adalah benteng terakhir Kalimantan Barat bagian selatan. Jika ia runtuh, kerusakan ekologisnya bersifat permanen dan mustahil dipulihkan dalam hitungan tahun.


    Melalui Ketua DPD RHI Ketapang, Ahmad Upin Ramadan, CPLA, menyampaikan sikap resmi yang tidak bisa dinegosiasi:


    1. Penegakan hukum tanpa kompromi
    Terhadap seluruh pelanggaran ruang dan kawasan hutan, baik oleh perusahaan, oknum aparat, maupun pihak mana pun.


    2. Moratorium perluasan perkebunan
    Di wilayah yang terindikasi tumpang tindih, berada dalam kawasan lindung, atau bermasalah secara tata ruang.


    3. Audit independen dan terbuka
    Atas seluruh perizinan perusahaan perkebunan dan kehutanan di Kabupaten Ketapang.


    4. Restorasi ekologis wajib
    Pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang telah dirusak, dengan pembiayaan dibebankan kepada perusahaan pelanggar.


    5. Penyelesaian konflik agraria yang adil
    Dengan keberpihakan terhadap masyarakat lokal dan adat, bukan pada kekuatan modal.


    Ahmad Upin Ramadan, CPLA, menegaskan bahwa ini bukan tuntutan berlebihan, melainkan syarat minimum agar Ketapang tidak kehilangan hutannya dalam satu dekade ke depan.


    Pemerintah boleh memilih bertindak sekarang, atau membiarkan kerusakan yang tak dapat dipulihkan. Perusahaan boleh memilih menaati aturan, atau menghadapi konsekuensi hukum. Dan masyarakat hanya menginginkan ruang hidup yang aman, adil, dan dihormati.


    Jika negara gagal melindungi hutan, maka negara gagal melindungi rakyatnya. Dan jika pemerintah tetap diam, sejarah akan mencatat bahwa ketika Hutan Ketapang hilang—negara ikut membiarkannya.


    Editor: Tim Teras Indonesia News | Narasumber: Ketua DPD RHI Kabupaten Ketapang | Penulis: Roy Runtu

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini