TERAS INDONESIA KETAPANG ||Dugaan praktik kriminalisasi mencuat dalam kasus yang menyeret tiga warga Dusun Pasir Linggis, Desa Pangkalan Suka, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang. Manajemen PT Falcon Agripersada (PT Fape), perusahaan perkebunan sawit pemegang Hak Guna Usaha (HGU), diduga menjadi aktor di balik jeratan hukum yang kini menahan M, D, dan A di Polres Ketapang.
Kecurigaan publik kian menguat setelah keluarga korban, tokoh adat, hingga aparat desa menyuarakan keberatan. Mereka menilai, apa yang dialami tiga warga bukan tindak pencurian, melainkan bentuk rekayasa untuk menundukkan masyarakat di sekitar HGU perusahaan.
Pada 3 September 2025, M bersama dua rekannya memuat buah sawit milik seorang warga berinisial P. Sebelum masuk, mereka terlebih dahulu melapor di Pos 6 PT Fape dan bahkan mendapat izin. Bahkan D sempat mengajak security ikut menyaksikan, namun ditolak dengan alasan “percaya pada warga”.
Namun saat kembali keluar, mereka justru ditahan oleh security dan anggota BKO, lalu dibawa ke Ketapang. Istri M, Y, mengaku kaget karena suaminya tak kunjung pulang hingga sore hari.
Awalnya mereka bilang suami saya hanya saksi. Tapi sampai sekarang jadi tersangka. Kami tidak pernah menerima surat pemberitahuan penahanan. Ini jelas-jelas kriminalisasi,” tegas Y penuh emosi.
Keluarga korban menduga barang bukti buah sawit yang dijadikan dasar laporan telah direkayasa. Berat Janjang Rata-rata (BJR) yang dilaporkan penyidik mencapai 20 kg, sementara fakta di lapangan rata-rata hanya 7–12 kg.
Kami minta ditunjukkan barang bukti, tapi tak pernah bisa ditunjukkan. Penimbangan sepihak, tanpa saksi dari keluarga maupun desa. Ini jelas manipulasi,” ungkap Y.
Kepala Dusun Pasir Linggis membenarkan adanya kejanggalan:
Buah sawit di lapangan tidak ada yang seberat itu. Kalau ada laporan 20 kilo per janjang, patut dicurigai ada rekayasa.
Demong Adat Pasir Linggis menilai tindakan perusahaan dan oknum aparat telah melanggar adat istiadat.
Ini melecehkan hukum adat. Warga kami ditangkap tanpa koordinasi, tanpa tembusan pada desa. Dalam adat kami ini disebut Langkah Batang, Limpung Tunggul. Warga kami seperti diculik,” ujarnya tegas.
Pihak PT Fape melalui asisten kebun, Petrus, mengklaim bahwa sebagian buah sawit yang dimuat M dan P berasal dari kebun plasma perusahaan.
Ada 40 janjang lebih, plus brondolan, total sekitar 700 kilogram. P mengaku sebagian buah itu bukan miliknya, lalu kami laporkan ke polisi,” kata Petrus.
Namun keterangan Petrus justru menimbulkan tanda tanya baru, sebab tidak ada saksi independen yang menyaksikan penimbangan barang bukti selain pihak perusahaan, BKO, dan penyidik.
Kasus ini kini menjadi sorotan luas. Keluarga korban, tokoh adat, hingga pemerintah desa bersatu menuntut keadilan. Mereka meminta agar laporan perusahaan dicabut dan penyidik Polres Ketapang transparan dalam menangani perkara.
Sementara publik menilai, kasus ini bisa menjadi cermin bagaimana korporasi besar dengan mudah memenjarakan warga hanya dengan tuduhan sepihak. Apakah benar terjadi pencurian, atau justru kriminalisasi yang dibungkus dengan “bukti rekayasa”?
Jawabannya kini ditunggu di meja hijau.

